Warung Kopi Serius


Versi yang sudah di-edit dengan bagus dan di-layout dengan dahsyat dari tulisan ini dimuat di Travelounge edisi Agustus 2014

Café, kafe, warung atau kedai kopi seringkali hanya bernasib sebagai tempat kongkow atau tempat untuk mencari sinyal wifi. Banyak pengunjung yang tidak peduli pada elemen rasa yang mati-matian diperjuangkan pada setiap cangkir kopi yang disajikan. Padahal tidak sedikit pengelola kafe yang benar-benar menyiapkan kopinya dengan sangat serius, militansi mereka berawal dari pencarian biji kopi ke pelosok penjuru dunia sampai pengolahan yang seksama dan terukur hingga penyajian yang presisi oleh barista.


Kafe-kafe di bawah ini sangat disayangkan jika hanya dijadikan tempat nongkrong, terserak dari Jakarta sampai Hong Kong, direkomendasikan karena kualitasnya oleh peminum kopi dari seluruh dunia melalui app seperti Beanhunter. Saya berkesempatan mampir ke tiap-tiap kafe tersebut dan mencicipi single-origin jagoan mereka, alasan hanya single-origin adalah karena saya suka mengamati rasa khas yang terdapat pada biji kopi dari suatu daerah. Rasa khas itu akan luntur ketika dicampur (blend) dengan kopi dari daerah lain, apalagi jika dicampur dengan elemen lain seperti susu (latte) atau sirup dan sari buah (frape).

1/15, Jakarta


Nama 1/15 diambil dari rasio terbaik campuran kopi dan air. Melihat meja baristanya seperti melihat laboratorium kimia, penuh tabung gelas berbagai ukuran dan bentuk, itulah alat-alat seduh yang digunakan kafe ini. Barista 1/15 tidak sungkan mendiskusikan dan menyarankan alat atau metode seduh yang akan digunakan untuk kopi pesanan konsumennya, setiap alat seduh dapat memperkuat atau justru mereduksi rasa yang terkandung pada kopi.

Setiap hari 1/15 menyediakan sampai enam pilihan single-origin. Mereka tidak hanya teliti pada proses penyeduhan, pada proses menggoreng (roasting) mereka juga sangat inovatif, salah satu hasilnya adalah biji kopi Sunda Arumanis yang saya pesan. Tanpa tambahan apapun, hasil seduhan dengan kalita wave membuat kopi ini terasa manis dan beraroma buah.

Anomali, Jakarta


Jargonnya: Kopi Asli Indonesia. Mereka hanya memilih, menggoreng, menggiling, dan menyeduh kopi-kopi yang berasal dari Tanah Air. Interior kafe ini seperti gedung tua atau gudang, artistik dan nyaman dengan penataan cahaya yang baik.

Yang menarik, dengan bagan sederhana yang terdapat pada dinding, mereka bisa "memetakan" rasa kopi dari seluruh Indonesia, dari yang tingkat accidity-nya rendah (Mandailing) ke yang paling tinggi (Bali dan Jawa).

Gerai yang sering saya kunjungi adalah Anomali di Gedung Setiabudi One, Jakarta Selatan. Momen favorit saya adalah ketika saya menyesap Toraja gratis yang diseduh dengan French Press. Secangkir single-origin bercita rasa cokelat dan karamel dengan tingkat keasaman sedang itu saya dapatkan cuma-cuma setiap membeli sekantung biji kopi untuk persediaan di rumah.

Djournal Coffee, Jakarta


Pilihan single origin-nya cuma dua sepanjang masa: Sumatera Mandailing dan Toraja Kalosi. Toraja dan Kalosi sebetulnya ada di dua kabupaten yang berbeda di Sulawesi, Toraja di kabupaten Toraja dan Kalosi di Enrekang. Ada anggapan penamaan Toraja Kalosi hanya akal-akalan penjual kopi karena kopi Toraja lebih terkenal. Saya gagal mengkonfirmasi itu ke baristanya, ketika saya tanyakan soal itu dia hanya tersenyum.

Cara penyeduhan di Djournal Coffee hanya ada satu pilihan: pour over dengan V60, kerucut dengan dinding dalam beralur putar itu membantu bubuk kopi terektraksi dengan air yang dituang memutar di atasnya. Metode ini dipercaya menghasilkan secangkir kopi lembut namun tanpa kehilangan karakter kopinya.

Highlander Coffee, Singapura


Kafe ini dikenal di dunia maya dengan kebersahajaannya, biji kopi berkualitas premium, dan tidak dikenal sebagai tempat buat nongkrong. Tapi anehnya, begitu saya mampir dan bertanya single-origin yang mereka punya, dua barista di seberang meja bar itu seperti terkejut memandang saya, lalu saya "diseret" ke belakang, ke tempat mereka menyimpan kantung-kantung kopi. Saya  berkesimpulan pengunjung kafe ini jarang yang menanyakan dan memesan "koleksi" biji kopi single-origin mereka.

Saya dijelaskan semua "koleksi" Highlander dengan riang oleh salah satu barista, lalu ia menyarankan saya mencoba Ethiopia Djimmah yang diseduh dengan aeropress. Seperti kopi Ethiopia yang pernah saya sesap sebelumnya: light body, fruity, high acidity.

Jewel Coffee, Singapura


Beruntung sekali para pekerja kantoran di sekitar Central Business District Singapura karena ada kafe ini untuk dikunjungi saat suntuk. Seperti kafe di kawasan perkantoran lain: desainnya modern dan simpel, baristanya ramah dan mengenal pengunjungnya. Dan tidak seperti kafe di kawasan perkantoran lain: Jewel Coffee memiliki koleksi single-origin yang lumayan lengkap.

Di sana saya mencoba Finca dari San Carlos, El Salvador yang setelah diseduh dengan V60 menghasilkan body sedang, asam buah sitrus, dan manis seperti karamel. Seorang teman di Jakarta meminta saya mencuri mug unik kafe ini setelah saya pamerkan di Path.

Gallery Drip Coffee, Bangkok


Warung kopi kecil di pojok Bangkok Art and Cultural Centre ini selalu ramai pengunjung. Pemilik Gallery Drip Coffee adalah dua orang fotografer yang jatuh cinta pada kopi dan mereka serius, mereka menggoreng sendiri biji kopinya.

Di sini pertama kali saya mencoba kopi dari dataran tinggi Chiang Mai, rasanya seperti kopi Toraja tapi dengan body yang lebih ringan.

Para barista kafe ini terlihat berpengetahuan luas, sangat sabar, dan selalu ramah, walaupun selalu sibuk mereka akan menjawab setiap pertanyaan pelanggan.

Knockbox Coffee, Hong Kong




Inilah single origin termahal yang pernah saya minum, HK$ 65 atau hampir Rp 100 ribu secangkir. Tapi harga itu langsung terbayar begitu barista wanita muda cute itu memulai ritualnya dengan menimbang biji kopi Rwanda pesanan saya dengan cermat dan menggilingnya persis di depan saya. Kemudian dia mengendus bubuk kopi hasil gilingannya, matanya terpejam seperti ingin berkonsentrasi mencari aroma yang semestinya diperoleh.

Lalu bubuk kopi dalam wadah itu diberikan kepada saya, saya ikut mengendus. Sambil menunggu "approval", dia menyiapkan alat seduh pour over dan meletakkan di depan saya yang duduk di depan meja bar. Proses menuang air bersuhu 97 derajat Celsius dari ceret ke V60 itu berlangsung 3 menit. Kemudian Sofie Tan, barista itu, menuang sedikit hasil seduhan ke dalam cangkir kecil dan mencicipinya, memejamkan mata seperti saat mengendus bubuk kopi tadi.

Raut muka Sofie puas dengan hasil seduhannya, lalu menyajikan kepada saya. Secangkir kopi Rwanda beraroma teh hitam, aprikot kering, dan susu itu saya nikmati di kafe yang tidak jauh dari karamaian Mong Kok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar